BAB
1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Seragam
adalah seperangkat pakaian standar yang dikenakan oleh anggota suatu organisasi
sewaktu berpartisipasi dalam aktivitas organisasi tersebut. Pelaksana kegiatan
keagamaan telah menggunakn kostum standar sejak dulu. Contoh lain penggunaan
seragam yang pertama adalah pakaian tentara Kekaisaran Romawi dan
peradaban-peradaban lainnya. Seragam modern dikenakan oleh angkatan bersenjata
dan organisasi paramiliter seperti polisi, layanan darurat, satpam, dibeberapa
tempat kerja, sekolahan, dan penghuni penjara. Dibeberapa negara, pejabat
negara juga dapat menggunakan seragam, contohnya seragam pegawai negeri sipil
di Indonesia. Saat ini banyak pegaiwai-pegawai restauran dan pedagang kaki lima
juga menggunakan seragam kerja kantor. Seragam dibuat secara khusus dalam hal
desain, warna, dan atribut dan diproduksi dalam skala kecil maupun besar oleh
tailor, maupun garmen.
Patut
di ketahui bahwa yang memakai seragam ini adalah memiliki tanggung jawab
terhadap seragam yang melekat pada diri nya baik atau buruk yang kita lakukan
dalam menjalani hobby atau pun melakukan kegiatan lain jika kita sedang
menggunakan seragam kebanggan kita ini hendaklah dilakukan dengan sebaik
mungkin dan penuh tanggung jawab. Karena seragam menggambarkan identitas sosial
individu tersebut.
Seragam
sekolah adalah seragam yang digunakan sebagai identitas siswa-siswi disebuah
lembaga pendidikan baik negeri ataupun swasta. Negara yang berada didunia
ini mempunyai ketentuan masing-masing dalam ketentuan seragam sekolah
masing-masing bagi siswa dan siswinya, khususnya pada siswa siswi sekolah dasar
dan menengah. Di negara yang kita cintai ini, ketentuan memakai seragam
sekolah ditetapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang pendidikan maupun
jenisnya
Pada
sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian
dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan
bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Pada
seragam sekolah juga terdapat lambang diamana lambang yang berbentuk sebagai
identitas sekolah masing-masing.
Fenomena
tawuran yang kini telah terjadi dikalangan pelajar dari tingkat SMP,
SMA/SMK/STM, atau bahkan dikalangan mahasiswa sering terjadi dikota-kota besar
yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebi maju. Ini
tentunya sangat memperhatinkan. Tawuran layaknya penyaluran identitas diri akan
kemampuan dan kebanggannya terhadap diri sendiri, kelompok, atau almamater.
Mereka tidak memikirkan buruknya berkelahi atau tawuran. Mereka hanya
memikirkan kepentingan sesaat. Tawuran pelajar bukan hal yang bisa dianggap
enteng, tawuran pelajar sekarang tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja
melainkan juga menjalar ke daerah-daerah. Permasalahan remeh dapat menyulut
pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelahian massal dan tak
jarang melibatkan penggunaan senjata tajam, senjata api, bahkan akhir-akhir ini
banyak pelajar menggunakan bahan kimia seperti air keras sebagai senjatanya.
Dewasa
ini, kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat efektif yang
dilakuka oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang
yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkisme dan
premanisme. Tentu saja perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang
terlibat dalam perkelahian itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang
tidak terlibat secara lagsung. Semua itu bisa disebabkan dengan pengaruh
lingkungan disekitar tempat mereka tinggal, dan juga tingkat setres mereka
disekolah yang sudah menggunung karena berbagai pelajaran yang menurut mereka
tidak bermanfaat dan belum patut di pelajari untuk mereka, sehingga mereka
frustasi dan melampiaskannya dengan hal-hal yang negatif.
Berdasarkan
survei yang ternyata para pelajar melakukan tindakan anarkis yang dituangkan
dalam tawuran itu, karena mereka masih muda, maka tingkat emosionalnya belum
bisa dikendalikan, dan hanya sekedar mencari jati diri mereka yang
sesungguhnya. Seperti contoh pada fenomena kasus aksi tawuran pelajar yang
terjadi di Bogor, tepatnya di jalan Sholeh Iskandar pada tahun lalu, sepetember
2013, puluhan pelajar dari dua SMK swasta Kota Bogor, saling serang dengan
menggunakan senjata tajam jenis pedang, samurai dan gir motor. Akibatnya, 2
Orang pelajar mengalami luka serius akibat terkena sabetan pedang musuhnya. Seperti
yang diketahui, mereka melakukan tindakan tawuran ini setelah pulang sekolah
dan masih menggunakan seragam sekolah dengan lambang identintas sekolah mereka
masih-masing.
Tentunya
ini akan menimbulkan dampak persepsi yang negatif dan pencemaran terhadap nama
baik sekolah mereka pada masyarakat atau penduduk sekitar yang melihat adegan
tawuran itu, juga menimbulkan citra yang buruk pada pelajar dan generasi
penerus yang akan datang. Masyarakan akan menilai atau mengklaim bahwa sekolah tersebut
adalah sekolah yang tidak bisa menjaga kedisiplinan terhadap anak-anak
muridnya, serta tidak bisa membimbing dan mendidik dengan baik, bisa dibilang
sekolah yang gagal dan buruk untuk membuat peserta didik mereka menjadi
murid-murid yang baik sebagaimana mestinya. Ini merupakan salah satu faktor
dari penyalahgunaan seragam sekolah terhadap pelajar, sehingga menimbulkan
persepsi yang negatif pada masyarakat. Persepsi merupakan suatu proses
penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang
kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti
tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Proses menginterpretasikan stimulus
ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu.
Sebagaimana
yang kita ketahui para pelajar yang menggunakan seragam dengan lambang
identitas sekolah mereka adalah pelajar yang semestinya mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab untuk menuntut ilmu, belajar dengan baik, mengejar prestasi,
disiplin, dan sangat berhati-hati dalam bertindak. Karena mereka adalah orang
yang berpendidikan yang tentunya telah diajarkan etika moral sebagai bimbingan
mereka dalam bertindak. Tidak seperti kasus yang diatas dimana siswa SMK yang
melakukan tindakan kekerasan terhadap pelajar SMK lainnya. Dan ini sangat tidak
pantas dilakukan oleh layaknya pelajar yang berpendidikan. Dari contoh kasus
tersebut kita bisa melihat bahwa seragam bukanlah suatu barang yang dianggap
remeh, dengan kita memakai seragam itu artinya kita telah bertanggung jawab atas
seragam yang kita pakai sebagai lambang identitas kita. Dan apabila kita
menyalahgunakannya, maka akan berdampak buruk bagi kita sendiri dan lembaga
atau organisasi dari seragam yang kita pakai tersebut. Maka dari itu kita harus
menjaga sikap dalam bertindak untuk melakukan sesuatu. Jika apa yang kita
lakukan adalah hal yang posistif maka orang-orang disekitar kita yang melihat
kita dengan memakai seragam apa yang kita pakai akan menilai postif juga dan
mengharumkan serta menjaga image nama baik organisasi atau lembaga dari seragam
yang kita pakai.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1.
Pengertian Tawuran
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat
diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar”
adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah
perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut
dilakukan oleh orang yang sedang belajar.
Secara
psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai
salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja,
dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi, yaitu
situasional dan sistematik.
a) Delikuensi
situasional adalah perkelahian terjadi karena
adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu
biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
b) Delikuensi
sistematik adalah para remaja yang terlibat
perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini
ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk
berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja
seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan
genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok
teman sebayanya.
2.
Pelaku Tawuran
Pelaku tawuran dapat meliputi masyarakat besar
seperti tawuran antar kelompok etnis, namun pada masa ini tawuran yang terjad
banyak dilakukan oleh para remaja atau manusia pada masa adolescence yaitu masa
perkembangan manusia masa kanak-kanak menuju keremajaan, masa remaja ini
terbagi berdasarkan rentan usia, yaitu:
a) Usia
12-15 tahun (Middle Childhood), Pelaku tawuran pada usia ini adalah para remaja
yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di masa ini merupakan awal
dari perubahan masa kanak-kanak menuju remaja seperti perubahan yang terjadi
secara afektif dan sosial (King, 2011).
b) Usia
16-18 tahun (Late Childhood), Pelaku pada usia ini adalah pelaku pelajar yang
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), pada masa SMA merupakan masa
perkembangan para remaja mencari jati diri mereka menurut Erickson dalam
King(2011) dalam proses pencarian jati diri, mereka akan membuat masalah atau
menghadapinya agar para remaja dapat mencari jati diri para remaja, proses ini
merupakan Identity versus confusion. Pada usia ini para remaja lebih rentan
melakukan tawuran dibandingkan usia Usia 12-15 tahun (Middle Childhood).
3. Faktor-faktor Terjadinya Tawuran Dari Tinjauan
Psikologi
1)
Faktor
Internal
a. Kurangnya
Didikan Agama
Faktor internal yang paling besar adalah
kurangnya didikan agama. Jika pendidikan agama yang diberikan mulai dari
rumah sudahlah bagus atau jadi perhatian, tentu anak akan memiliki akhlak yang
mulia. Dengan akhlak mulia inilah yang dapat memperbaiki perilaku anak. Ketika
ia sudah merasa bahwa Allah selalu mengamatinya setiap saat dan di mana pun
itu, pasti ia mendapatkan petunjuk untuk berbuat baik dan bersikap lemah
lembut. Inilah keutamaan pendidikan agama. Jika anak diberikan pendidikan agama
yang benar, maka pasti ia akan terbimbing pada akhlak yang mulia. Buah dari
akhlak yang mulia adalah akan punya sikap lemah lembut terhadap sesama. Jadi
tidak semua anak mesti cerdas. Jika cerdas namun tidak memiliki akhlak mulia,
maka ia pasti akan jadi anak yang brutal dan nakal, apalagi jika ditambah jauh
dari agama.
b. Identitas
Diri atau Sosial
Remaja yang terlibat aksi perkelahian
biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada lingkungan yang kompleks.
Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan
dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Akan tetapi, pada
remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya
mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau
pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat
untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa
mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil,
tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang
kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari
orang-orang yang ada disekitarnya.
2)
Faktor Eksternal
a. Faktor
Keluarga
Rumah tangga
yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas
berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika
meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari
dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan
tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya,
ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian
dari identitas yang dibangunnya.
b. Peer
Group
Peer group adalah
sekumpulan remaja sebaya yang punya hubungan erat dan saling tergantung.
Fenomena munculnya peer group memang
tidak bisa dihindari. Ada banyak manfaat yang kita peroleh jika kita punya peer group, misalnya untuk
memperluas wawasan di luar keluarga, tempat curhat dan kesempatan mandiri tanpa
diawasi orang tua atau orang dewasa lain. Masa adolescene lebih banyak
menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya atau peer group dan
kelompok para remaja dapat memberikan pengaruh positif atau negatif (King,
2011). Jika peer group dari para remaja itu memberikan dampak negatif
maka tidak heran jika para remaja dapat menjadi pelaku tawuran.
c.
Sekolah
Suasana sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar juga akan menyebabkan siswa lebih senang
melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Seringnya, guru
malah lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan. Bahkan otoriter
dan seringkali menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk yang
berbeda-beda). Padahal seharusnya, sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk
siswa mendapatkan pendidikan. Selain itu, perilaku dari guru dan sistem yang
ada di sekolah akan menjadi percontohan bagi murid dalam berperilaku. Selain itu, pengawasan dari sekolah pun perlu lebih ditingkatkan. Pihak
sekolah harus lebih peka terhadap isu-isu yang beredar di kalangan siswa
sehingga dapat cepat ditindak. Pembelajaran tentang agama pun harus lebih
ditingkatkan. Setidaknya pembelajaran bahwa konflik antar sekolah tidak harus
diselesaikan dengan cara tawuran.
d.
Lingkungan Pergaulan
Lingkungan teman sebaya (peer educator) juga sangat menentukan.
Karena mayoritas waktu kita dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Apalagi
jika kita mendapat pengakuan lebih dari Peer
Educator dibandingkan dengan keluarga.
e.
Alumni
Alumni juga merupakan salah satu faktor yang
tidak bisa dilupakan sebagai faktor penyebab tawuran. Konflik antar
pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan
suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang
pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap
kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi. Selain itu, ada beberapa siswa yang merasa tertekan dengan doktrin
beberapa alumni yang mengatakan bahwa tawuran merupakan adat turun temurun dan
diannggap sebagai angkatan yang cupu
kalau tidak dilakukan lagi.
4.
Teori Frustasi - Agresi
Teori Frustrasi-Agresi atau Hipotesis Frustrasi-Agresi (frustration-Aggression Hypothesi) berasumsi bahwa
bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan
timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilaku yang
dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard
dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan,
tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap
merupakan dorongan yang harus disalurkan. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa tindakan tawuran ini juga
dipengaruhi oleh aspek Internal individu.
Ketika individu merasa adanya tekanan dalam dirinya dan tidak ada
penyaluran, maka tawuran lah yang menjadi salah satu penyaluran bagi perilaku
seorang individu. Contohnya ketika seorang individu kalah dalam suatu
pertandingan (ia mendapat hambatan ketika mencapai tujuannya), maka akan timbul
dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilakunya untuk melukai
orang. Salah satu caranya ialah dengan tawuran. Begitu juga ketika seorang individu merasa tertekan, tidak ada keluarga
yang mengawasi dan melindunginya dengan baik, maka individu cenderung mengikuti
apa yang teman sebayanya lakukan. Seperti ketika teman sebayanya mengajak untuk
tawuran, maka kontrol diri dari individu tersebut akan lemah dan ia akan
cenderung mudah dipengaruhi.
Agresivitas juga
muncul karena adanya ketidak stabilan emosi para generasi muda yang cenderung
mudah marah, egois, sulit mengendalikan diri dan tidak peka terhadap lingkungan
sekitar yang bisa mendorong mereka untuk melakukan aksi tawuran. Dimasyarakat,
khususnya dikalangan generasi muda seolah-olah berlaku pemeo “senggol-bacok”.
Menunjukan bahwa emosi seorang remaja masih belum stabil mudah tersinggung
sehingga mengundang pihak lawan.
5.
Teori Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Persepsi
adalah proses mengenali objek atau peristiwa yang terjadi pada individu setelah
mendapat stimulus melalui penginderaan. Yang termasuk alat indera adalah
mata,telinga, hidung, lidah, dan alat peraba. Alat indera berfungsi sebagai
alat penghubung anatara individu dengan dunia luarnya.
Stimulus yang
diindera itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari, mengenali, atau mengerti apa yang diindera. Proses tersebut
dinamakan persepsi. Dengan kata lain persepsi terjadi ketika stimulus yang
diterima alat indera diorganisasikan dan diinterpretasikan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah pengorganisasian dan penginterpretasian
stimulus yang diindera sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan
respons yang terintegrasi dalam diri individu (Walgito, 2004:88).
Karena persepsi merupakan
aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri
individu akan ikut aktif dalam proses persepsi. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa karena perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman
individu tidak sama, maka dalam mempersepsi stimulus, hasil persepsi akan
berbeda anatar individu yang satu dengan individu yang lain. Jadi persepsi
bersifat individu.
b.
Proses Terjadinya Persepsi
Proses pembentukan persepsi diawali
dengan masuknya sumber melalui suara, penglihatan, rasa, aroma atau sentuhan
manusia, diterima oleh indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk
sensation. Sejumlah besar sensation yang diperoleh dari proses pertama diatas
kemudian diseleksi dan diterima. Fungsi penyaringan ini dijalankan oleh faktor
seperti harapan individu, motivasi, dan sikap. Sensation yang diperoleh dari
hasil penyaringan pada tahap kedua itu merupakan input bagi tahap ketiga, tahap
pengorganisasian sensation. Dari tahap ini akan diperoleh sensation yang
merupakan satu kesatuan yang lebih teratur dibandingkan dengan sensation yang
sebelumnya. Tahap keempat merupakan tahap penginterpretasian seperti
pengalaman, proses belajar, dan kepribadian. Apabila proses ini selesai
dilalui, maka akan diperoleh hasil akhir berupa Persepsi.
c. Faktor yang Mempengaruhi
Persepsi
Faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain
harapan pengalaman masa lalu, dan keadaan psikologis yang mana menciptakan
kumpulan perseptual. Selain hal tersebut masih ada beberapa hal yang
mempengaruhi persepsi, yaitu:
- Yang paling berpengaruh terhadap persepsi adalah perhatian, karena perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran, pada saat stimulus lainya melemah. Dalam stimulus mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain intensitas dan pengulangan. Diri orang yang membentuk persepsi itu sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karateristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap kepentingan, minat, kebutuhan, pengalaman, harapan dan kepribadian.
- Stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu. Stimulus yang dimaksud mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.
- Faktor situasi dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana dan lain-lain.
6. Upaya
untuk Mengatasi Tawuran
Ada beberapa upaya untuk mengatasi
tindakan tawuran, yaitu yang pertama dengan memberikan pendidikan moral untuk
para pelajar. Pelajaran agama di sekolah ataupun bangku kuliah harus lebih di
fokuskan sejak dini kepada generasi muda sekarang agar dapat membentengi mereka
dari hal yang negatif,khusunya dalam agama Islam, islam tidak pernah
mengajarkan kekerasan dalam kehidupan,semua permasalahn bisa diselesaikan
secara terbuka tanpa adanya kekerasan.
Yang kedua dengan cara menghadirkan seorang figur yang
baik yang bisa dijadikan teladan bagi anak-anaknya contohnya orang tua dan guru
sebaiknya memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya sehingga mereka akan
meniru hal-hal yang baik pula. Dan yang ketiga adalah dengan memfasilitasi para
pelajar baik dirumah maupun disekolah serta di bangku perguruan tinggi. Dalam
artian terdapat lembaga/wadah untuk menyalurkan potensi dan bakat yang ada pada
generasi muda untuk mengisi waktu luangnya ke arah yang bermanfaat sekaligus
mendidik dan tentunya menjauhkan dari hal yang berbau anarkisme.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki,
Heru., A.M (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Gunadarma.
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/teori-pengertian-proses-faktor-persepsi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Seragam
http://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi
http://ivannirvana.blogspot.com/2013/01/tawuran-antar-pelajar.html
http://megazurita.blogspot.com/2014/01/makalah-masalah-pendidikan-tawuran.html
0 komentar: