Author: Nur Purnama N.
•04.33


BAB 1
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
         Seragam adalah seperangkat pakaian standar yang dikenakan oleh anggota suatu organisasi sewaktu berpartisipasi dalam aktivitas organisasi tersebut. Pelaksana kegiatan keagamaan telah menggunakn kostum standar sejak dulu. Contoh lain penggunaan seragam yang pertama adalah pakaian tentara Kekaisaran Romawi dan peradaban-peradaban lainnya. Seragam modern dikenakan oleh angkatan bersenjata dan organisasi paramiliter seperti polisi, layanan darurat, satpam, dibeberapa tempat kerja, sekolahan, dan penghuni penjara. Dibeberapa negara, pejabat negara juga dapat menggunakan seragam, contohnya seragam pegawai negeri sipil di Indonesia. Saat ini banyak pegaiwai-pegawai restauran dan pedagang kaki lima juga menggunakan seragam kerja kantor. Seragam dibuat secara khusus dalam hal desain, warna, dan atribut dan diproduksi dalam skala kecil maupun besar oleh tailor, maupun garmen.

Patut di ketahui bahwa yang memakai seragam ini adalah memiliki tanggung jawab terhadap seragam yang melekat pada diri nya baik atau buruk yang kita lakukan dalam menjalani hobby atau pun melakukan kegiatan lain jika kita sedang menggunakan seragam kebanggan kita ini hendaklah dilakukan dengan sebaik mungkin dan penuh tanggung jawab. Karena seragam menggambarkan identitas sosial individu tersebut.
Seragam sekolah adalah seragam yang digunakan sebagai identitas siswa-siswi disebuah lembaga pendidikan baik negeri ataupun swasta. Negara yang berada didunia ini  mempunyai ketentuan masing-masing dalam ketentuan seragam sekolah masing-masing bagi siswa dan siswinya, khususnya pada siswa siswi sekolah dasar dan menengah. Di  negara yang kita cintai ini, ketentuan memakai seragam sekolah ditetapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang pendidikan maupun jenisnya
Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Pada seragam sekolah juga terdapat lambang diamana lambang yang berbentuk sebagai identitas sekolah masing-masing.
Fenomena tawuran yang kini telah terjadi dikalangan pelajar dari tingkat SMP, SMA/SMK/STM, atau bahkan dikalangan mahasiswa sering terjadi dikota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebi maju. Ini tentunya sangat memperhatinkan. Tawuran layaknya penyaluran identitas diri akan kemampuan dan kebanggannya terhadap diri sendiri, kelompok, atau almamater. Mereka tidak memikirkan buruknya berkelahi atau tawuran. Mereka hanya memikirkan kepentingan sesaat. Tawuran pelajar bukan hal yang bisa dianggap enteng, tawuran pelajar sekarang tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja melainkan juga menjalar ke daerah-daerah. Permasalahan remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelahian massal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam, senjata api, bahkan akhir-akhir ini banyak pelajar menggunakan bahan kimia seperti air keras sebagai senjatanya.



Dewasa ini, kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat efektif yang dilakuka oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkisme dan premanisme. Tentu saja perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang tidak terlibat secara lagsung. Semua itu bisa disebabkan dengan pengaruh lingkungan disekitar tempat mereka tinggal, dan juga tingkat setres mereka disekolah yang sudah menggunung karena berbagai pelajaran yang menurut mereka tidak bermanfaat dan belum patut di pelajari untuk mereka, sehingga mereka frustasi dan melampiaskannya dengan hal-hal yang negatif.
Berdasarkan survei yang ternyata para pelajar melakukan tindakan anarkis yang dituangkan dalam tawuran itu, karena mereka masih muda, maka tingkat emosionalnya belum bisa dikendalikan, dan hanya sekedar mencari jati diri mereka yang sesungguhnya. Seperti contoh pada fenomena kasus aksi tawuran pelajar yang terjadi di Bogor, tepatnya di jalan Sholeh Iskandar pada tahun lalu, sepetember 2013, puluhan pelajar dari dua SMK swasta Kota Bogor, saling serang dengan menggunakan senjata tajam jenis pedang, samurai dan gir motor. Akibatnya, 2 Orang pelajar mengalami luka serius akibat terkena sabetan pedang musuhnya. Seperti yang diketahui, mereka melakukan tindakan tawuran ini setelah pulang sekolah dan masih menggunakan seragam sekolah dengan lambang identintas sekolah mereka masih-masing.
Tentunya ini akan menimbulkan dampak persepsi yang negatif dan pencemaran terhadap nama baik sekolah mereka pada masyarakat atau penduduk sekitar yang melihat adegan tawuran itu, juga menimbulkan citra yang buruk pada pelajar dan generasi penerus yang akan datang. Masyarakan akan menilai atau mengklaim bahwa sekolah tersebut adalah sekolah yang tidak bisa menjaga kedisiplinan terhadap anak-anak muridnya, serta tidak bisa membimbing dan mendidik dengan baik, bisa dibilang sekolah yang gagal dan buruk untuk membuat peserta didik mereka menjadi murid-murid yang baik sebagaimana mestinya. Ini merupakan salah satu faktor dari penyalahgunaan seragam sekolah terhadap pelajar, sehingga menimbulkan persepsi yang negatif pada masyarakat. Persepsi merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu.
                  Sebagaimana yang kita ketahui para pelajar yang menggunakan seragam dengan lambang identitas sekolah mereka adalah pelajar yang semestinya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menuntut ilmu, belajar dengan baik, mengejar prestasi, disiplin, dan sangat berhati-hati dalam bertindak. Karena mereka adalah orang yang berpendidikan yang tentunya telah diajarkan etika moral sebagai bimbingan mereka dalam bertindak. Tidak seperti kasus yang diatas dimana siswa SMK yang melakukan tindakan kekerasan terhadap pelajar SMK lainnya. Dan ini sangat tidak pantas dilakukan oleh layaknya pelajar yang berpendidikan. Dari contoh kasus tersebut kita bisa melihat bahwa seragam bukanlah suatu barang yang dianggap remeh, dengan kita memakai seragam itu artinya kita telah bertanggung jawab atas seragam yang kita pakai sebagai lambang identitas kita. Dan apabila kita menyalahgunakannya, maka akan berdampak buruk bagi kita sendiri dan lembaga atau organisasi dari seragam yang kita pakai tersebut. Maka dari itu kita harus menjaga sikap dalam bertindak untuk melakukan sesuatu. Jika apa yang kita lakukan adalah hal yang posistif maka orang-orang disekitar kita yang melihat kita dengan memakai seragam apa yang kita pakai akan menilai postif juga dan mengharumkan serta menjaga image nama baik organisasi atau lembaga dari seragam yang kita pakai.



BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS


1. Pengertian Tawuran
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang sedang belajar.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi, yaitu situasional dan sistematik.
a)     Delikuensi situasional adalah perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
b)    Delikuensi sistematik adalah para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
2. Pelaku Tawuran
Pelaku tawuran dapat meliputi masyarakat besar seperti tawuran antar kelompok etnis, namun pada masa ini tawuran yang terjad banyak dilakukan oleh para remaja atau manusia pada masa adolescence yaitu masa perkembangan manusia masa kanak-kanak menuju keremajaan, masa remaja ini terbagi berdasarkan rentan usia, yaitu:
a)      Usia 12-15 tahun (Middle Childhood), Pelaku tawuran pada usia ini adalah para remaja yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di masa ini merupakan awal dari perubahan masa kanak-kanak menuju remaja seperti perubahan yang terjadi secara afektif dan sosial (King, 2011).
b)      Usia 16-18 tahun (Late Childhood), Pelaku pada usia ini adalah pelaku pelajar yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), pada masa SMA merupakan masa perkembangan para remaja mencari jati diri mereka menurut Erickson dalam King(2011) dalam proses pencarian jati diri, mereka akan membuat masalah atau menghadapinya agar para remaja dapat mencari jati diri para remaja, proses ini merupakan Identity versus confusion. Pada usia ini para remaja lebih rentan melakukan tawuran dibandingkan usia Usia 12-15 tahun (Middle Childhood).

3.  Faktor-faktor Terjadinya Tawuran Dari Tinjauan Psikologi
1)      Faktor Internal
a.    Kurangnya Didikan Agama
Faktor internal yang paling besar adalah kurangnya didikan agama.  Jika pendidikan agama yang diberikan mulai dari rumah sudahlah bagus atau jadi perhatian, tentu anak akan memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak mulia inilah yang dapat memperbaiki perilaku anak. Ketika ia sudah merasa bahwa Allah selalu mengamatinya setiap saat dan di mana pun itu, pasti ia mendapatkan petunjuk untuk berbuat baik dan bersikap lemah lembut. Inilah keutamaan pendidikan agama. Jika anak diberikan pendidikan agama yang benar, maka pasti ia akan terbimbing pada akhlak yang mulia. Buah dari akhlak yang mulia adalah akan punya sikap lemah lembut terhadap sesama. Jadi tidak semua anak mesti cerdas. Jika cerdas namun tidak memiliki akhlak mulia, maka ia pasti akan jadi anak yang brutal dan nakal, apalagi jika ditambah jauh dari agama.
b.    Identitas Diri atau Sosial
Remaja yang terlibat aksi perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Akan tetapi, pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari orang-orang yang ada disekitarnya.
2)      Faktor Eksternal
a.    Faktor Keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
b.    Peer Group
Peer group adalah sekumpulan remaja sebaya yang punya hubungan erat dan saling tergantung. Fenomena munculnya peer group  memang tidak bisa dihindari. Ada banyak manfaat yang kita peroleh jika kita punya peer group, misalnya untuk memperluas wawasan di luar keluarga, tempat curhat dan kesempatan mandiri tanpa diawasi orang tua atau orang dewasa lain. Masa adolescene lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya atau peer group dan kelompok para remaja dapat memberikan pengaruh positif atau negatif (King, 2011). Jika peer group dari para remaja itu memberikan dampak negatif maka tidak heran jika para remaja dapat menjadi pelaku tawuran.
c.    Sekolah
Suasana sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar juga akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Seringnya, guru malah lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan. Bahkan otoriter dan seringkali menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk yang berbeda-beda). Padahal seharusnya, sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk siswa mendapatkan pendidikan. Selain itu, perilaku dari guru dan sistem yang ada di sekolah akan menjadi percontohan bagi murid dalam berperilaku. Selain itu, pengawasan dari sekolah pun perlu lebih ditingkatkan. Pihak sekolah harus lebih peka terhadap isu-isu yang beredar di kalangan siswa sehingga dapat cepat ditindak. Pembelajaran tentang agama pun harus lebih ditingkatkan. Setidaknya pembelajaran bahwa konflik antar sekolah tidak harus diselesaikan dengan cara tawuran.
d.   Lingkungan Pergaulan
Lingkungan teman sebaya (peer educator) juga sangat menentukan. Karena mayoritas waktu kita dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Apalagi jika kita mendapat pengakuan lebih dari Peer Educator dibandingkan dengan keluarga.
e.    Alumni
Alumni juga merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan sebagai faktor penyebab tawuran. Konflik antar pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi. Selain itu, ada beberapa siswa yang merasa tertekan dengan doktrin beberapa alumni yang mengatakan bahwa tawuran merupakan adat turun temurun dan diannggap sebagai angkatan yang cupu kalau tidak dilakukan lagi.  
4. Teori Frustasi - Agresi
Teori Frustrasi-Agresi atau Hipotesis Frustrasi-Agresi (frustration-Aggression Hypothesi) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa tindakan tawuran ini juga dipengaruhi oleh aspek Internal individu.
Ketika individu merasa adanya tekanan dalam dirinya dan tidak ada penyaluran, maka tawuran lah yang menjadi salah satu penyaluran bagi perilaku seorang individu. Contohnya ketika seorang individu kalah dalam suatu pertandingan (ia mendapat hambatan ketika mencapai tujuannya), maka akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilakunya untuk melukai orang. Salah satu caranya ialah dengan tawuran. Begitu juga ketika seorang individu merasa tertekan, tidak ada keluarga yang mengawasi dan melindunginya dengan baik, maka individu cenderung mengikuti apa yang teman sebayanya lakukan. Seperti ketika teman sebayanya mengajak untuk tawuran, maka kontrol diri dari individu tersebut akan lemah dan ia akan cenderung mudah dipengaruhi.
Agresivitas juga muncul karena adanya ketidak stabilan emosi para generasi muda yang cenderung mudah marah, egois, sulit mengendalikan diri dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar yang bisa mendorong mereka untuk melakukan aksi tawuran. Dimasyarakat, khususnya dikalangan generasi muda seolah-olah berlaku pemeo “senggol-bacok”. Menunjukan bahwa emosi seorang remaja masih belum stabil mudah tersinggung sehingga mengundang pihak lawan.
5. Teori Persepsi
        a. Pengertian Persepsi
 Persepsi adalah proses mengenali objek atau peristiwa yang terjadi pada individu setelah mendapat stimulus melalui penginderaan. Yang termasuk alat indera adalah mata,telinga, hidung, lidah, dan alat peraba. Alat indera berfungsi sebagai alat penghubung anatara individu dengan dunia luarnya.
Stimulus yang diindera itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengenali, atau mengerti apa yang diindera. Proses tersebut dinamakan persepsi. Dengan kata lain persepsi terjadi ketika stimulus yang diterima alat indera diorganisasikan dan diinterpretasikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus yang diindera sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respons yang terintegrasi dalam diri individu (Walgito, 2004:88).
Karena persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam proses persepsi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa karena perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi stimulus, hasil persepsi akan berbeda anatar individu yang satu dengan individu yang lain. Jadi persepsi bersifat individu.
  b. Proses Terjadinya Persepsi
      
     Proses pembentukan persepsi diawali dengan masuknya sumber melalui suara, penglihatan, rasa, aroma atau sentuhan manusia, diterima oleh indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk sensation. Sejumlah besar sensation yang diperoleh dari proses pertama diatas kemudian diseleksi dan diterima. Fungsi penyaringan ini dijalankan oleh faktor seperti harapan individu, motivasi, dan sikap. Sensation yang diperoleh dari hasil penyaringan pada tahap kedua itu merupakan input bagi tahap ketiga, tahap pengorganisasian sensation. Dari tahap ini akan diperoleh sensation yang merupakan satu kesatuan yang lebih teratur dibandingkan dengan sensation yang sebelumnya. Tahap keempat merupakan tahap penginterpretasian seperti pengalaman, proses belajar, dan kepribadian. Apabila proses ini selesai dilalui, maka akan diperoleh hasil akhir berupa Persepsi.

c. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain harapan pengalaman masa lalu, dan keadaan psikologis yang mana menciptakan kumpulan perseptual. Selain hal tersebut masih ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi, yaitu:
  1. Yang paling berpengaruh terhadap persepsi adalah perhatian, karena perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran, pada saat stimulus lainya melemah. Dalam stimulus mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain intensitas dan pengulangan. Diri orang yang membentuk persepsi itu sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karateristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap kepentingan, minat, kebutuhan, pengalaman, harapan dan kepribadian.
  2. Stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu. Stimulus yang dimaksud mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.
  3. Faktor situasi dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana dan lain-lain.  
6. Upaya untuk Mengatasi Tawuran
       Ada beberapa upaya untuk mengatasi tindakan tawuran, yaitu yang pertama dengan memberikan pendidikan moral untuk para pelajar. Pelajaran agama di sekolah ataupun bangku kuliah harus lebih di fokuskan sejak dini kepada generasi muda sekarang agar dapat membentengi mereka dari hal yang negatif,khusunya dalam agama Islam, islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dalam kehidupan,semua permasalahn bisa diselesaikan secara terbuka tanpa adanya kekerasan.


Yang kedua dengan cara menghadirkan seorang figur yang baik yang bisa dijadikan teladan bagi anak-anaknya contohnya orang tua dan guru sebaiknya memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya sehingga mereka akan meniru hal-hal yang baik pula. Dan yang ketiga adalah dengan memfasilitasi para pelajar baik dirumah maupun disekolah serta di bangku perguruan tinggi. Dalam artian terdapat lembaga/wadah untuk menyalurkan potensi dan bakat yang ada pada generasi muda untuk mengisi waktu luangnya ke arah yang bermanfaat sekaligus mendidik dan tentunya menjauhkan dari hal yang berbau anarkisme.


DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Heru., A.M (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Gunadarma.
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/teori-pengertian-proses-faktor-persepsi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Seragam
http://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi
http://ivannirvana.blogspot.com/2013/01/tawuran-antar-pelajar.html
http://megazurita.blogspot.com/2014/01/makalah-masalah-pendidikan-tawuran.html